Malam ini, Indonesia menyaksikan sebuah babak baru dalam peta politik nasional. Presiden Prabowo Subianto secara resmi menerbitkan Keputusan Presiden yang memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, ekonom dan mantan tokoh Timnas AMIN.
Langkah ini tak hanya berdampak hukum—yang mengakhiri proses pidana terhadap dua tokoh tersebut—namun juga membawa makna politik yang dalam. Apakah ini bentuk tulus dari rekonsiliasi nasional atau bagian dari kalkulasi politik yang cermat?
Membaca Gaya Politik Prabowo
Banyak yang awalnya menaruh curiga: apakah Prabowo akan menggunakan kekuasaannya untuk “menegaskan dominasi” atas lawan-lawan politiknya? Namun, kenyataan hari ini menunjukkan sebaliknya. Justru ia memilih merangkul, bukan membungkam.
Langkah ini mengingatkan kita pada gaya Presiden ke-7, Joko Widodo, yang pasca Pilpres 2019 mengajak Prabowo masuk ke dalam kabinet. Kini, Prabowo meneruskan warisan itu—tapi dengan cara yang lebih simbolik: menghapus dosa hukum lawan, dan menyambut mereka kembali ke ruang politik nasional.
Bukan Sekadar Maaf, Tapi Isyarat
Pemberian amnesti kepada Hasto bukan sekadar pengampunan. Ini adalah isyarat politik kepada PDIP, partai besar yang saat ini berada di luar lingkar kekuasaan. Begitu pula abolisi kepada Tom Lembong, bisa dibaca sebagai upaya merekrut kembali kekuatan intelektual dari lawan politik—dan sekaligus memecah soliditas oposisi.
Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan:
- Apakah ini akan menjadi tradisi baru di mana kasus hukum tokoh politik selalu berakhir di meja presiden?
- Bagaimana posisi Kejaksaan dan KPK dalam menanggapi langkah-langkah semacam ini?
Dilema di Antara Ketulusan dan Kepentingan
Sebagian publik tentu menyambut gembira keputusan ini sebagai bentuk politik damai, sebagaimana semangat kemerdekaan yang kini kita rayakan menuju usia ke-80 tahun. Namun sebagian lain bisa jadi melihatnya sebagai kompromi, bahwa kekuasaan pada akhirnya bertransaksi atas nama stabilitas.
Di sinilah pentingnya transparansi dan penjelasan terbuka dari Istana, agar rekonsiliasi tak dicurigai sebagai barter atau negosiasi diam-diam di balik tirai.
Dari Pinggiran: Harapan Daerah pada Stabilitas Nasional
Dari sudut Sulawesi Tenggara, dan seluruh daerah yang jauh dari pusaran elite politik, kami menyambut baik setiap upaya untuk menyatukan kembali bangsa ini. Yang kami butuhkan adalah pemerintahan yang stabil, adil, dan berpihak pada pembangunan daerah. Jika rekonsiliasi politik ini membawa hasil nyata bagi rakyat di pelosok, maka itu adalah rekonsiliasi yang bermakna.
Namun jika sebaliknya, hanya menjadi sandiwara elite, maka rakyat tak akan diam untuk kedua kalinya.
Kita akan mengamati apakah ini awal dari pemerintahan Prabowo yang inklusif dan mempersatukan, atau awal dari politik kompromi yang membungkus kepentingan?
Waktu yang akan menjawab. Tapi catatan sejarah baru saja dimulai malam ini.
Redaksi PilarSultra.com
“Dari Sulawesi Tenggara, Kami Menulis untuk Indonesia.”