PILARSULTRA.COM, Kendari – Pemerintah melalui Perum Bulog berkali-kali menyampaikan bahwa stok beras di Sulawesi Tenggara dalam kondisi aman. Bahkan, angka distribusi disebut mencapai puluhan ribu ton melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Namun, realita di lapangan menunjukkan fakta yang berbeda. Di pasar-pasar tradisional maupun warung-warung di Kota Kendari, harga beras masih tinggi, berkisar antara Rp 13.000 hingga Rp 14.000 per liter, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) beras SPHP berkisar Rp12.500-14.900 per kilogram.
Pedagang Kecil Tak Tahu Cara Akses Stok Bulog
PilarSultra.com mewawancarai sejumlah pedagang beras eceran di Kendari. Mayoritas dari mereka mengaku tidak tahu cara membeli langsung ke Bulog, apalagi menjadi mitra resmi.
“Kami tahunya beli dari penggilingan. Itu pun berebut dan antri. Soal beras Bulog, cuma dengar di berita, tapi nggak tahu caranya dapat,” ungkap seorang pedagang di Baruga, Kendari, Kamis.
Situasi ini menunjukkan adanya kesenjangan akses informasi dan distribusi, antara kebijakan pusat dan pelaksanaan di lapangan. Bulog boleh saja menyebut stok cukup, namun jika tak menyentuh pasar riil, maka keberadaan beras murah itu tak berdampak pada harga.
Distribusi yang Tidak Terbuka?
Beras SPHP konon disalurkan melalui Rumah Pangan Kita (RPK), e-Warung, dan kios terpilih di pasar. Tapi, pedagang umum tidak bisa serta-merta ikut menjadi mitra atau membeli dari jalur tersebut.
“Kios yang jual SPHP itu kan ditentukan dari pusat, kita yang kecil nggak tahu harus daftar ke mana. Mau minta info juga bingung,” ujar pedagang lainnya.
Kondisi ini menimbulkan dugaan: apakah ada distribusi tertutup yang hanya berpihak pada kelompok tertentu? Jika iya, maka kehadiran program SPHP tidak adil bagi pedagang kecil dan masyarakat bawah.
Pemerintah Harus Menjawab
Jika benar stok aman dan distribusi lancar, mengapa harga masih mahal di tingkat pengecer? Apakah distribusi Bulog tersendat di tengkulak, atau justru berputar-putar di tangan mitra terbatas?
Pemerintah dan Bulog perlu menjawab ini secara terbuka. Bukan hanya melalui angka-angka di meja rapat, tapi lewat keterbukaan jalur distribusi dan akses yang merata ke seluruh pelaku usaha, termasuk pedagang kecil di pasar.
Ketahanan pangan bukan hanya soal stok di gudang. Tapi soal keadilan distribusi, keterjangkauan harga, dan akses merata bagi semua lapisan masyarakat. Tanpa itu, jargon “stok aman” hanya akan menjadi ilusi, sementara rakyat tetap membeli beras dengan harga tinggi.