Dalam dunia komunikasi publik, ada adagium tak tertulis yang menyatakan bahwa, “Setiap orang adalah pahlawan bagi dirinya sendiri.” Kalimat ini mengandung kebenaran yang mendalam: bahwa dalam setiap narasi yang kita buat tentang diri sendiri, selalu ada bias, kehendak untuk tampil baik, dan keinginan untuk mempengaruhi citra.
Itulah sebabnya, ketika seorang pejabat mempublikasikan kegiatannya sendiri — tanpa melalui narasi pihak ketiga yang independen — informasi itu cenderung kehilangan kejernihannya. Publik tidak mendapatkan kabar yang utuh, tapi hanya potret yang sudah dipoles.
Di sinilah peran media independen menjadi penting. Sebagai pihak ketiga, media memiliki jarak yang sehat dari objek pemberitaan. Media bisa memverifikasi, mengkonfirmasi, dan membingkai informasi berdasarkan kepentingan publik, bukan kepentingan personal pejabat publik.
Sebaliknya, ketika pejabat menjadi narator atas dirinya sendiri, objektivitas mudah terkikis. Kebenaran menjadi kabur karena telah bercampur dengan kebutuhan legitimasi.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata:
“Jangan menjelaskan dirimu pada orang lain. Karena yang menyukaimu tidak membutuhkan itu dan mereka yang membencimu tidak akan percaya.”
Ungkapan ini bukan hanya nasihat spiritual, tapi juga refleksi tajam atas kecenderungan manusia dalam membela citra dirinya — sering kali tanpa hasil. Maka, biarlah publik yang menilai, dan media yang menyampaikan.
Di tengah arus konten yang didominasi pencitraan, jurnalisme tetap harus berdiri sebagai penjernih. Ia hadir bukan untuk menyanjung, tetapi untuk menjaga keseimbangan informasi. Bukan untuk menciptakan heroisme buatan, tetapi untuk mengabarkan realitas seutuhnya – pahit atau manisnya.