Oleh : Sabaruddin Hasan – Jurnalis

Rapat Koordinasi (Rakor) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama para bupati dan wali kota se-Sulawesi Tenggara, 31 Juli 2025, membuka tabir yang sering luput dalam diskursus kebijakan publik: curhat para kepala daerah.
Beberapa kepala daerah menyuarakan unek-unek mereka. Salah satunya datang dari Bupati Konawe Selatan, Irham Kalenggo, yang menyinggung dana Jaminan Reklamasi (Jamrek) sektor pertambangan.
Menurut Irham, dana tersebut disimpan di bank nasional yang berada di Jakarta, padahal kegiatan tambang dilakukan di Sulawesi Tenggara.
“Seharusnya uang jaminan reklamasi itu disimpan di Bank Sultra, karena tanahnya ada di Sultra. Supaya manfaat ekonominya juga kembali ke daerah,” ujarnya dalam Rakor tersebut.
Pernyataan ini bukan sekadar keluhan, melainkan sinyal kuat bahwa kepala daerah membutuhkan ruang diskusi yang lebih terbuka. Mereka berada di garis depan pelayanan publik, namun kerap terikat oleh kebijakan pusat yang tidak kontekstual dengan kondisi lapangan.
Lebih dari itu, curhat kepala daerah seperti ini mestinya menjadi pemantik pembenahan tata kelola pemerintahan. Jangan sampai ruang rapat hanya menjadi forum formalitas tanpa arah kebijakan yang membumi.
Bukan Sekadar Keluhan, Tapi Sinyal
Pernyataan itu bukan sekadar keluhan teknis. Itu sinyal sistemik, bahwa selama ini pemerintah daerah diposisikan sekadar sebagai pelaksana kebijakan, bukan sebagai pengambil keputusan strategis atas wilayahnya sendiri. Ini ironis. Ketika tanahnya rusak, lingkungan terganggu, dan masyarakat menuntut tanggung jawab, maka yang pertama disorot adalah kepala daerah. Tapi ketika bicara soal kewenangan dan kontrol dana, daerah justru tidak diberi peran penuh.
Sistem desentralisasi yang kita anut semestinya memberi ruang lebih besar bagi daerah untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun realitanya, banyak kebijakan penting masih ditarik ke pusat: mulai dari tata kelola pertambangan, lingkungan hidup, hingga penempatan dana strategis seperti Jamrek.
Inilah mengapa curhat kepala daerah patut didengar, bukan dicibir. Mereka menuntut ruang bicara. Bukan untuk memonopoli wewenang, tapi untuk bisa bertanggung jawab secara utuh atas wilayah dan rakyatnya sendiri.
Desentralisasi Butuh Revisi Arah
Publik memandang sudah saatnya arah desentralisasi dikaji ulang. Bukan untuk kembali ke sistem lama yang sentralistik, tapi justru untuk menyempurnakan otonomi daerah agar lebih partisipatif, transparan, dan relevan dengan tantangan lokal.
Jika dana Jamrek tetap dikelola dari pusat tanpa melibatkan Bank Pembangunan Daerah seperti Bank Sultra, maka peluang untuk memberdayakan ekonomi lokal, mempercepat reklamasi, dan mengawasi pelaksanaan tanggung jawab perusahaan tambang akan makin kecil.
Suara kepala daerah adalah cermin dari denyut rakyat di daerah. Jangan tunggu mereka bicara dalam diam atau bereaksi di luar sistem. Beri ruang bicara yang setara, beri kewenangan yang proporsional, dan tanamkan kepercayaan kepada pemimpin lokal untuk menjaga tanahnya sendiri.
Karena Indonesia yang adil hanya bisa terwujud jika daerah didengar, bukan diabaikan. (bar)