PILARSULTRA.COM — Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara merilis bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) Sultra pada Juni 2025 mengalami penurunan signifikan sebesar 2,84 persen, dari 113,94 menjadi 110,70. Penurunan ini mencerminkan kondisi daya beli petani yang memburuk, akibat menurunnya pendapatan dari hasil produksi pertanian.
“NTP Sulawesi Tenggara pada Juni 2025 tercatat 110,70 atau mengalami penurunan sedalam 2,84 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 113,94,” tulis BPS dalam Rilisnya (1/7)
Apa Itu NTP dan Mengapa Turunnya Mengkhawatirkan?
NTP adalah indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani, dengan membandingkan harga yang diterima petani (penjualan hasil pertanian) dengan harga yang dibayar petani (untuk kebutuhan hidup dan produksi).
Pada Juni 2025, Indeks harga diterima petani (It): turun 2,29% dan Indeks harga dibayar petani (Ib): naik 0,57%. Artinya: harga jual turun, biaya hidup naik. Kondisi inilah yang membuat NTP jatuh dalam.
Subsektor | NTP | Keterangan |
Tanaman Pangan | 101,71 | Hampir mendekati garis impas |
Holtikultura | 110,47 | Masih stabil |
Tanaman Perkebunan Rakyat | 125,82 | Tertinggi, tetap positif |
Peternakan | 106,55 | Stabil tapi melemah |
Perikanan | 103,25 | Mulai tertekan |
Sumber BPS
Jika dibandingkan dengan NTP Nasional yang naik 0,47% ke angka 121,72, maka posisi Sultra tergolong berada di bawah rata-rata nasional dan patut diwaspadai.
Apa yang Terjadi?
Menurut BPS, turunnya It (harga jual hasil pertanian) menjadi penyebab utama, terutama di subsektor tanaman pangan dan peternakan. Di sisi lain, kenaikan Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) sebesar 0,68% – khususnya karena naiknya harga makanan dan minuman – justru menekan pengeluaran rumah tangga petani.
NTP di bawah 110 mulai memasuki zona rawan daya beli. Petani masih menjadi kelompok paling rentan terhadap fluktuasi harga pasar dan inflasi pangan.
Kenaikan harga konsumsi, terutama di kelompok makanan dan minuman, memperkuat beban rumah tangga tani.
Sektor perkebunan rakyat menjadi satu-satunya penyelamat dengan NTP di atas 120, kemungkinan karena komoditas ekspor seperti kakao, kelapa, atau mete.
Apa yang perlu dilakukan?
Pemerintah perlu merespons cepat melalui subsidi pupuk, stabilisasi harga gabah, dan insentif transportasi komoditas. Distribusi pangan harus dikawal ketat, agar tidak terjadi lonjakan harga yang memberatkan petani sebagai konsumen. Perluasan akses pasar digital bagi petani untuk memotong rantai distribusi dan meningkatkan margin pendapatan.
Turunnya NTP Sultra 2,84 persen adalah alarm serius. Jika dibiarkan, kesejahteraan petani—yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan—bisa terus merosot. Dukungan program yang tepat sasaran, dan pengendalian biaya hidup, harus segera dilakukan. (bar)