Pernyataan resmi Gedung Putih Amerika Serikat pada 22 Juli 2025 menggemparkan publik Indonesia. Dalam pernyataan yang dirilis di situs resmi pemerintah AS, disebutkan bahwa Indonesia telah sepakat untuk mentransfer data pribadi warganya ke Amerika Serikat sebagai bagian dari kesepakatan dagang bertajuk Agreement on Reciprocal Trade.
Pengumuman itu mengejutkan karena tak ada satu pun penjelasan resmi yang sebelumnya diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada publik mengenai kesepakatan yang menyangkut privasi dan keamanan data 270 juta lebih warga.
Dalam dokumen yang dirilis Gedung Putih, secara eksplisit disebut bahwa Indonesia akan “memberikan kepastian terkait kemampuannya mentransfer data secara lintas batas ke Amerika Serikat” sebagai salah satu bentuk komitmen dagang digital. Namun hingga kini belum ada penjelasan detail dari pemerintah Indonesia soal cakupan, jenis data, dan perlindungan yang dijanjikan.
Respons Pemerintah Tampak Gagap dan Tak Kompak
Alih-alih memberikan klarifikasi, pernyataan dari Jakarta justru terkesan saling tumpang tindih. Presiden Prabowo Subianto saat dikonfirmasi hanya menjawab singkat, “Negosiasi masih berlangsung,” tanpa menyinggung substansi pengumuman Gedung Putih.
Beberapa pejabat di lingkungan kementerian yang menangani ekonomi digital dan komunikasi malah memberikan pernyataan berbeda-beda, bahkan saling membantah. Hal ini memperkuat kesan bahwa pemerintah belum memiliki satu suara mengenai isi dan konsekuensi dari kesepakatan tersebut.
Publik pun menilai pemerintah Indonesia gagap merespons. Di tengah isu global mengenai kedaulatan data dan meningkatnya kekhawatiran terhadap pengawasan digital oleh negara asing, sikap diam atau tidak solid dari pihak pemerintah memunculkan tanda tanya besar: Apakah Indonesia benar-benar tahu apa yang sedang dinegosiasikan?
Apa yang Dipertaruhkan?
Pakar hukum digital dari menyebut bahwa transfer data ke luar negeri tanpa pengawasan ketat berpotensi melanggar UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru saja disahkan pada 2022.
“Jika data penduduk ditransfer tanpa mekanisme kontrol dan tanpa persetujuan eksplisit dari pemilik data, itu bisa jadi bentuk pelanggaran,” ujarnya.
Apalagi, tidak sedikit warga Indonesia yang menyimpan data sensitif dalam layanan digital — mulai dari rekam medis, transaksi keuangan, hingga biometrik.
Sementara Amerika Serikat, dalam praktiknya, memiliki kebijakan intelijen yang memungkinkan lembaga seperti NSA mengakses data digital lintas negara dengan alasan keamanan nasional.
Minta Jawaban Tegas, Bukan Basa-Basi
Kritik mengalir deras di media sosial. Netizen meminta pemerintah Indonesia untuk menjelaskan secara terbuka:
- Apa isi sebenarnya dari kesepakatan dagang digital dengan AS?
- Data pribadi seperti apa yang akan ditransfer?
- Siapa yang akan mengawasi dan menjamin keamanan data warga?
Kalangan aktivis digital bahkan menyarankan DPR segera memanggil pejabat terkait untuk RDP guna memastikan bahwa tidak ada kedaulatan data yang dikompromikan demi kepentingan dagang. (red)