PILARSULTRA.COM, Kendari – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara melaporkan bahwa tingkat kemiskinan di Sultra per Maret 2025 turun menjadi 10,54 persen, mengalami penurunan dibandingkan Maret tahun sebelumnya (10,74%). Hal ini menjadi sinyal positif terhadap upaya penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah.
Dalam angka absolut, jumlah penduduk miskin di Sultra kini tercatat sebanyak 304,43 ribu orang, yang terdiri dari: 71,53 ribu orang di perkotaan dan 232,90 ribu orang di perdesaan
Meski secara umum terjadi penurunan, BPS menyoroti bahwa wilayah pedesaan masih menjadi titik paling rawan, dengan tingkat kemiskinan mencapai 13,13 persen, jauh di atas perkotaan yang sebesar 6,42 persen.
“Penurunan ini menunjukkan perbaikan, namun tetap diperlukan perhatian khusus bagi masyarakat di pedesaan yang tingkat kerentanannya masih tinggi,” terang Kepala BPS Sultra dalam rilis resminya.
Faktor-Faktor Penurunan Kemiskinan
Dalam dokumen resmi BPS, disebutkan bahwa beberapa faktor utama penyebab penurunan tingkat kemiskinan antara lain: Penurunan harga bahan pokok seperti minyak goreng dan bawang merah, naiknya upah nominal buruh tani dan buruh bangunan, meningkatkan daya beli masyarakat lapisan bawah dan Peningkatan cakupan bantuan sosial tunai dan non-tunai pada awal tahun 2025.
Selanjutnya garis Kemiskinan (GK) per kapita pada Maret 2025 tercatat sebesar: Rp488.171/kapita/bulan, Makanan: Rp364.299 dan Non-Makanan: Rp123.872. BPS juga mencatat rata-rata rumah tangga miskin memiliki 5,48 orang anggota, sehingga GK per rumah tangga miskin setara dengan Rp2.675.171 per rumah tangga miskin per bulan
Komponen makanan, ungkap BPS, masih mendominasi garis kemiskinan, yaitu sebesar 74,63%. Ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk miskin masih menghabiskan pengeluaran untuk kebutuhan dasar pangan seperti beras, telur, mie instan, dan minyak goreng.
“Ketergantungan tinggi pada bahan makanan mengindikasikan belum berkembangnya kekuatan konsumsi non-makanan, seperti pendidikan dan perumahan, yang justru penting untuk keluar dari jerat kemiskinan,” ungkap salahseorang analis kebijakan publik.
Indeks Kemiskinan: Kedalaman dan Keparahan
Persoalan kemiskina, jelas BPS, bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
Indeks kedalaman kemiskinan adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.
Pada periode September 2024–Maret 2025, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami kenaikan. Indeks Kedalaman Kemiskinan pada Maret 2025 sebesar 1,890, naik dibanding September 2024 yang sebesar 1,809. Demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan, pada periode yang sama mengalami kenaikan dari 0,440 menjadi 0,453.
Apabila dibandingkan berdasarkan daerah tempat tinggal, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan.
Pada Maret 2025, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan sebesar 1,264, sedangkan di perdesaan lebih tinggi, yaitu mencapai 2,284. Demikian pula untuk nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di perkotaan adalah sebesar 0,317, sedangkan di perdesaan lebih tinggi, yaitu mencapai 0,538.
Penurunan angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara adalah langkah maju, namun tantangan masih besar, terutama di wilayah perdesaan. Pemerintah daerah dan kabupaten/kota diharapkan mampu memperkuat program pengembangan ekonomi produktif, terutama di sektor pertanian, UMKM, dan pelatihan kerja. (bar)