Pernyataan bahwa kecerdasan buatan (AI) telah melampaui manusia secara mutlak adalah keliru jika dipandang tanpa konteks. Memang benar, AI saat ini mampu melakukan banyak hal luar biasa: mengolah data dalam hitungan detik, mengenali pola dalam skala besar, bahkan menulis dan berbicara layaknya manusia. Namun, apakah itu berarti kecerdasan manusia sudah kalah?
Jawabannya: tidak.
AI hanya unggul dalam aspek kecerdasan teknis dan pemrosesan cepat berbasis algoritma. Tapi ada banyak jenis kecerdasan manusia yang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa digantikan AI sepenuhnya:
1. Kecerdasan Moral dan Nurani
AI tidak punya hati nurani. Ia tak bisa membedakan mana yang adil dan zalim, mana yang manusiawi dan menindas. AI tidak merasa bersalah. Keputusan etis tetap hanya bisa lahir dari hati manusia.
2. Kecerdasan Emosional dan Empati
AI bisa meniru emosi, tapi tak bisa merasakan. Saat seorang pemimpin mendengarkan curhat warganya, atau guru menyentuh hati muridnya, itu bukan karena logika—tapi karena empati. AI tak bisa menangis karena pilu, tak bisa tersenyum karena bangga.
3. Kecerdasan Kontekstual dan Kebijaksanaan
AI hanya tahu apa yang diajarkan. Ia tak punya intuisi untuk menimbang nilai sosial, budaya, atau kearifan lokal. Sementara manusia bisa bijak bahkan dalam kondisi tanpa data, karena ada pengalaman, perenungan, dan nilai-nilai hidup yang menyertai.
AI adalah mitra pintar, bukan pengganti. Mesin bantu manusia berpikir cepat, tapi akal sehat manusialah yang tetap harus mengambil keputusan.
Kecerdasan buatan boleh melaju kencang, tapi kebijaksanaan manusia tetaplah kemudi utama.
Dan seperti kata pepatah Bugis: “Reso temmangingi, namalomo naletei pammase dewata.” (Usaha dan akal manusia itu yang membuat rahmat Tuhan turun.)
Kita menghargai peran teknologi, tapi juga mengingatkan publik agar tidak terjebak dalam euforia digital yang menyesatkan. AI bukan tuan atas manusia. AI diciptakan, bukan pencipta. (red)