PILARSULTRA.COM, Kendari — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terus menunjukkan komitmennya dalam menghadapi tantangan perubahan iklim melalui pembentukan 20 Kampung Iklim (Proklim) di wilayah Bumi Anoa. Program ini didukung dana hibah dari pemerintah pusat sebesar Rp2,2 miliar yang dialokasikan untuk pelaksanaan program selama tiga tahun, mulai 2025 hingga 2027.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sultra, Andi Makkawaru mengungkapkan, 20 lokasi kampung iklim tersebut merupakan bagian dari kebijakan nasional Indonesia Hijau dan akan difokuskan pada wilayah pesisir yang rawan terdampak perubahan iklim, seperti gelombang tinggi, abrasi, dan cuaca ekstrem.
“Di tahun 2025 kita fokus pada amanah pusat untuk Indonesia Hijau, termasuk mendata potensi emisi gas rumah kaca dan menjalankan Proklim di daerah rentan terdampak perubahan iklim, terutama wilayah pesisir,” ujar Andi mengutip Antara (1/7).
Ia menambahkan bahwa mayoritas masyarakat di wilayah pesisir berprofesi sebagai nelayan. Ketika cuaca ekstrem terjadi dan mereka tidak bisa melaut, maka ketahanan ekonomi keluarga juga ikut terancam. Oleh karena itu, Proklim diharapkan mampu menjadi pendekatan adaptif dan solutif untuk menjaga sumber penghidupan yang berkelanjutan.
“Makanya Proklim ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga adaptasi agar masyarakat siap menghadapi dampak perubahan iklim,” tegasnya.
Tahapan Verifikasi dan Pendataan Lapangan
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) DLH Sultra, Awaluddin, menjelaskan bahwa saat ini pihaknya tengah melakukan verifikasi dan pencatatan 20 lokasi kampung iklim yang telah menginisiasi program secara mandiri.
“Kami identifikasi dulu aksi-aksi adaptasi dan mitigasi yang sudah ada, seperti pengelolaan sampah, daur ulang, atau budidaya mangrove,” kata Awaluddin.
Pencatatan dilakukan melalui kunjungan lapangan dan dilaporkan ke pusat melalui aplikasi Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Proses verifikasi akan dilakukan oleh tim Kementerian LHK dan Pusat Data dan Informasi (Pusdal) pada tahun 2026.
Jika lolos, maka kampung-kampung tersebut akan masuk dalam tahap pengembangan Proklim secara aktif pada semester II tahun 2026 hingga 2027.
Selanjutnya, intervensi akan dilakukan melalui berbagai kegiatan lingkungan seperti agroforestry dan silvofishery. Model ini mengintegrasikan konservasi ekosistem, budidaya berkelanjutan, dan ekowisata alam.
“Di beberapa desa yang punya potensi, akan dikembangkan satu lanskap yang menggabungkan wisata, konservasi, dan ekonomi berbasis alam,” terang Awaluddin.
Program ini melibatkan tiga instansi utama di lingkup Pemprov Sultra, yakni Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Bappeda, yang akan bekerja secara sinergis di lokasi yang sama.
“Harus satu lanskap yang sama, karena tujuannya membangun ketahanan iklim berbasis wilayah,” pungkasnya. (bar)