Pilarsultra.com – Kendari. Dalam empat tahun terakhir, banjir di Kota Kendari tak lagi menjadi kejadian sesaat yang bisa dianggap biasa. Data dan peristiwa menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: frekuensi bertambah, cakupan meluas, dan dampaknya semakin besar. Puncaknya, sepanjang awal 2024, banjir besar melanda 11 kecamatan dengan dampak yang lebih serius dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Dari Genangan Lokal ke Bencana Kota
Pada tahun 2021, banjir besar terakhir tercatat terjadi di bantaran Sungai Wanggu, tepatnya di Kelurahan Lepo-lepo, Kecamatan Baruga. Meski merendam puluhan rumah, kejadian saat itu dianggap musiman. Tak ada korban jiwa, dan warga kembali ke rumah dalam waktu singkat.
Namun, memasuki 2023 dan lebih drastis pada 2024, pola itu berubah. Wilayah terdampak tak hanya di Baruga, tapi juga menjalar ke kawasan padat penduduk di Kadia, Mandonga, Poasia, hingga Kampung Salo dan Sanua. Hujan ekstrem yang terjadi sejak akhir Februari 2024 hingga Maret mengakibatkan banjir hampir tiap pekan. Rumah terendam, akses jalan lumpuh, dan ratusan warga mengungsi.
Tren Tahunan: Semakin Parah
Berikut ini gambaran tren banjir Kendari selama empat tahun terakhir:
Tahun | Kejadian Banjir | Kecamatan Terdampak | Korban & Dampak |
2021 | 1 kali | Baruga (Sungai Wanggu) | ±100 rumah terdampak, 0 korban jiwa |
2022 | 0 kejadian besar | — | — |
2023 | 1 kali | Kadia, Baruga | ±200 rumah terdampak, 0 korban jiwa |
2024 | 5 kali (Feb–Mar) | 11 kecamatan (termasuk Sanua, Kampung Salo) | >3.000 rumah terdampak, 2 korban jiwa, 200+ warga mengungsi |
Data tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hanya 1 tahun, skala dan kerusakan banjir meningkat lebih dari 1000 persen. Situasi ini tak bisa lagi dianggap musiman, melainkan sudah menjadi bencana tahunan yang berulang.
Sungai Wanggu dan Drainase: Dua Titik Lemah Kota
Dari laporan BPBD dan tinjauan lapangan, dua penyebab utama banjir yang terus berulang adalah:
- Meluapnya Sungai Wanggu, terutama saat hujan deras berlangsung lebih dari 2 jam.
- Sistem drainase kota yang tak mampu menampung limpahan air, terutama di kawasan padat seperti Mandonga, Wua-Wua, dan Sanua.
Gubernur Sultra Andi Sumangerukka (ASR), saat meninjau lokasi banjir pada 29 Juni 2025, menyatakan bahwa pemerintah akan segera membangun tanggul di sepanjang Sungai Wanggu sebagai salah satu langkah antisipasi. Estimasi anggaran pembangunan mencapai Rp400 juta.
“Kalau kita tidak tangani seperti ini, maka setiap hujan deras warga akan terus menjadi korban,” kata ASR.
Relokasi atau Tanggul? Dilema Penanganan
Salah satu tantangan besar dalam penanggulangan banjir adalah penolakan warga untuk direlokasi dari bantaran sungai. Warga lebih memilih bertahan di rumah lama meski rentan banjir.
Di sisi lain, solusi membangun tanggul dan kolam retensi membutuhkan lahan yang cukup dan pembiayaan yang tidak sedikit. Pemerintah Kota Kendari telah mengusulkan pembangunan drainase skala besar dan kolam retensi ke Kementerian PUPR.
Namun, hingga kini beberapa proyek masih dalam tahap perencanaan atau belum menyentuh titik kritis seperti Kampung Salo dan Sungai Wanggu.
Kota Kenari Butuh Solusi Permanen
Tren banjir di Kendari jelas menunjukkan peringatan keras. Tanpa upaya mitigasi jangka panjang dan sinergi pemerintah–masyarakat, ancaman banjir bukan hanya akan berulang, tapi semakin merugikan secara ekonomi dan sosial.
Dari semua fakta itu, redaksi merekomendasikan:
- Peninjauan ulang sistem drainase dan kanal utama kota.
- Edukasi publik tentang relokasi berbasis keselamatan dan jaminan penghidupan.
- Transparansi proyek infrastruktur penanggulangan banjir.
- Kolaborasi Pemkot, Pemprov, dan Pemerintah Pusat dalam pendanaan.
[Redaksi Pilar Sultra]