PILARSULTRA.COM — Masyarakat Indonesia menilai kondisi ekonomi yang mereka hadapi saat ini adalah yang terburuk dalam lebih dari tiga tahun terakhir, akibat kemerosotan penghasilan yang dialami oleh semua kelas pendapatan, di tengah kesulitan mendapatkan pekerjaan yang akhirnya turut menyeret kekuatan daya beli ke level terendah sejak September 2022.
Bahkan untuk pertama kali sejak April 2022, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja yang mengukur pandangan masyarakat terhadap ketersediaan pekerjaan amblas ke zona pesimistis di bawah 100. Pada Mei 2025, indeks ini jatuh ke level 95,7 dengan semua kelas konsumen merosot keyakinannya ke zona di bawah 100.
Situasi yang kini semakin memburuk itu, mengerosi ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi ke depan.
Penghasilan diperkirakan masih akan tergerus ke depan di tengah penurunan keyakinan akan kondisi kegiatan usaha. Namun, ada sedikit asa bahwa ketersediaan lapangan kerja enam bulan ke depan mungkin akan sedikit membaik.
Hal itu terungkap dalam hasil Survei Konsumen terbaru edisi Mei yang dirilis oleh Bank Indonesia pada hari ini, Kamis (12/6/2025).
Tingkat Keyakinan Konsumen pada bulan Mei jatuh ke level terendah sejak September 2022, di level 117,5, tergerus akibat anjloknya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini seperti ditunjukkan oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini di angka 106, terendah sejak April 2022 silam.
Pemburukan kondisi perekonomian akibat lapangan kerja nan sempit, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membesar hingga menggerus penghasilan dan mengikis kekuatan daya beli konsumen, pada akhirnya membuat tingkat ekspektasi kondisi ekonomi juga turut tergerus.
Masyarakat RI menilai, kondisi ekonomi enam bulan ke depan masih lebih buruk dibandingkan saat ini, terindikasi dari Indeks Ekspektasi Konsumen yang turun 0,8 poin ke level 129, terendah sejak Oktober 2022.
Konsumsi, Tabungan, dan Utang
Survei Konsumen terbaru juga mendapati kondisi keuangan masyarakat yang memberikan peringatan. Konsumsi terindikasi melemah, di tengah kenaikan beban cicilan ketika nilai pendapatan yang ditabung hanya naik sedikit.
Pada Mei 2025, proporsi pendapatan konsumen yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) tercatat sebesar 74,3%, terendah sejak Januari lalu.
Pada saat yang sama, rasio utang yang mencerminkan porsi pendapatan digunakan untuk membayar cicilan pinjaman, naik lagi menjadi 10,8%, sama dengan posisi Maret lalu ketika terjadi perayaan Ramadan dan Idulfitri.
Adapun proporsi pendapatan yang konsumen yang ditabung naik sedikit jadi 14,9%, tertinggi sejak Februari.
Data tersebut membawa dugaan, masyarakat saat ini cenderung mengurangi konsumsi ketika pendapatan mereka makin banyak tersedot pembayaran pinjaman. Sementara peningkatan porsi tabungan mungkin menjadi cerminan kehati-hatian konsumen menghadapi kondisi ekonomi yang dinilai memburuk sehingga memilih mengurangi konsumsi.
Kategori | Indeks per Mei 2025 | Perubahan | Keterangan |
Indeks Keyakinan Konsumen | 117,5 | -4,2 | Terendah sejak September 2022 |
Indeks Ekonomi Saat Ini | 106,0 | -7,7 | Terendah sejak April 2022 |
– Indeks Penghasilan Saat Ini | 118,1 | -7,3 | Terendah sejak Maret 2024 |
– Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja | 95,7 | -5,9 | Terendah sejak Maret 2022 |
– Indeks Pembelian Barang Tahan Lama | 104,1 | -9,8 | Terendah sejak September 2022 |
Indeks Ekspektasi Konsumen | 129,0 | -0,8 | Terendah sejak Oktober 2022 |
– Indeks Ekspektasi Penghasilan | 135,4 | -2,1 | Terendah sejak September 2023 |
– Indeks Ekspektasi Lapangan Kerja | 123,8 | +0,3 | — |
– Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha | 127,8 | -0,7 | Terendah sejak Desember 2022 |
Proporsi Pengeluaran Konsumen | |||
– Konsumsi | 74,3 | -0,5 | Terendah sejak Januari 2025 |
– Cicilan Pinjaman | 10,8 | +0,3 | Sama dengan posisi Maret 2025 |
– Tabungan | 14,9 | +0,1 | — |
Sumber: Bank Indonesia, 12 Juni 2025
Kelas Menengah ‘Tiarap’
Melihat kelas pengeluaran konsumen yang mencerminkan kelas pendapatan, terlihat bahwa penurunan indeks di hampir semua kategori terbesar dicatat oleh kelas menengah dan kelas atas.
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini, misalnya, yang mengukur persepsi masyarakat Indonesia terhadap kondisi perekonomian saat ini dibanding enam bulan lalu, penurunan terdalam dicatat oleh kelas pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta per kepala per bulan, yaitu hingga 12,3 poin menyentuh l105,3 yang menjadi level terendah sejak April 2022 silam.
Kelas konsumen dengan pendapatan tertinggi di atas Rp5 juta per kepala per bulan, indeksnya juga ambles hingga 12,2 poin pada Mei.
Anjlok indeks kelas menengah atas dan atas terutama karena kejatuhan penghasilan. Di mana untuk konsumen dengan besar pengeluaran teratas, Indeks Penghasilan Saat Ini anjlok terbesar hingga 11,3 poin menyentuh level terendah dalam setahun.
Konsumen dengan pengeluaran terbawah antara Rp1 juta-Rp2 juta per kepala per bulan, juga mencatat penurunan Indeks Penghasilan Saat Ini hingga double digit, sebesar 12 poin jadi 104,6 pada Mei.
Masyarakat dengan pendapatan menengah atas, juga mencatat penurunan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja terdalam hingga 11,9 pada bulan lalu.
Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja pada Mei pertama kali jatuh lagi ke zona pesimistis yang terakhir terjadi pada Maret tiga tahun silam. Semua kelas pengeluaran berada di zona pesimistis untuk isu ketersediaan pekerjaan.
Penurunan indeks pekerjaan terbesar dicatat oleh konsumen menengah atas, yang turun 11,9 poin ke level 92,4, terendah sejak Maret 2022 lalu.
Kelas menengah juga menunjukkan kemerosotan daya beli yang dalam. Indeks Durable Goods secara umum anjlok paling dalam sampai 9,8 poin.
Indeks Pembelian Barang Tahan Lama menjadi salah satu ukuran tingkat daya beli masyarakat karena ia mengukur persepsi pembelian barang nonmakanan yang menjadi indikator daya beli.
Hampir semua kelas pengeluaran mencatat penurunan indeks durable goods, kecuali konsumen terbawah. Tiga kelas pengeluaran, yaitu mulai Rp3,1 juta hingga di atas Rp5 juta per kepala per bulan, mencatat penurunan sampai double digit.
Sedangkan konsumen dengan pengeluaran Rp2,1 juta sampai Rp3 juta terjatuh ke level pesimistis di 96,5. Terakhir kali indeks durable goods kelompok ini jatuh ke level pesimistis adalah pada April tiga tahun silam.
Kemerosotan indeks pembelian barang tahan lama memperpanjang daftar indikator pelemahan daya beli masyarakat yang sudah terendus sejak lama, menyusul pertumbuhan konsumsi yang lesu pada musim perayaan Lebaran lalu, juga kelesuan penjualan ritel, kurban Iduladha, hingga kinerja penjualan otomotif terakhir.
Bila melihat lebih dalam pada perkembangan kondisi keuangan konsumen, terlihat juga bila konsumsi melemah di hampir semua kelas pengeluaran bawah hingga menengah atas. Hanya konsumen atas yang masih mencatat kenaikan proporsi konsumsi.
Penurunan porsi pendapatan untuk konsumsi pada Mei, diduga karena kenaikan kebutuhan untuk membayar cicilan pinjaman, terutama ditunjukkan oleh konsumen berpengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta. Kelas ini mencatat kenaikan rasio utang 1,2 poin persentase menjadi 12,3%, tertinggi sejak Januari lalu.
Situasi yang muram itu membutuhkan intervensi kebijakan yang lebih berdampak. Langkah pemerintah merilis paket insentif senilai Rp24,4 triliun di antaranya subsidi upah tapi membatalkan diskon tarif listrik, dinilai hanya berdampak terbatas pada perbaikan konsumsi masyarakat.
Terbaru, lembaga pemeringkat global S&P Global Ratings memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI melambat dengan kenaikan hanya 4,6%. Bila prediksi itu terealisasi, maka akan jadi laju terendah sejak 2009 di luar periode pandemi ketika perekonomian terhantam resesi.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian menilai, yang lebih membutuhkan sokongan penguatan saat ini adalah kelas menengah. Pasalnya, kelas menengah adalah pendorong utama konsumsi masyarakat. Alhasil, apabila ingin mendongkrak konsumsi, kelas menengahlah yang perlu dibidik.
“Bila mau broadband recovery yang muncul bukan hanya subsidi upah. Kita butuh hal langsung support kelas menengah seperti subsidi listrik,” katanya.
Tulisan ini telah tayang di Bloombergtechnoz.com