PILARSULTRA.COM, Jakarta — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membantah tudingan Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) atau US Department of Labor (US DOL), yang menuding industri nikel di Indonesia menerapkan kerja paksa terhadap warga negara China.
Bahlil—yang juga mantan menteri investasi/kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] — mengaku skeptis bahwa kerja paksa diterapkan pada industri nikel di Indonesia.
Berita Terkait : AS Klaim Industri Nikel di Sulteng dan Sultra Terapkan Kerja Paksa
“Tidak ada dong, saya kan mantan menteri investasi. Mana ada sih kerja paksa?” ujar Bahlil saat ditemui di Jakarta Selatan, Senin (7/10/2024), malam.
Senada dengan Bahlil, Asosiasi Penambang Indonesia atau Indonesian Mining Association (IMA) memastikan anggotanya tidak melakukan kerja paksa dalam industri nikel Indonesia.
Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengatakan banyak perusahaan tambang nikel, yang disebut menerapkan sistem kerja paksa, telah memasukan aspek hak asasi manusia (HAM) dalam perjanjian kerja bersama. (PKB)
“Tentu hal yang dituduhkan tersebut tidak ada di anggota kami IMA,” ujar Hendra kepada Bloomberg Technoz.
Sementara itu, sebelumnya, Kementerian ESDM mengatakan izin dari industri nikel di Indonesia bisa dicabut bila terbukti melakukan pelanggaran berupa kerja paksa.
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Siti Sumilah Rita Susilawati mengatakan sanksi yang diberikan bisa berupa penghentian izin sementara, atau bahkan pencabutan izin bila terbukti melakukan pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Kementerian ESDM tentunya mendukung penegakan hukum jika terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang oleh perusahaan pertambangan termasuk yang terkait dengan penggunaan tenaga kerja pertambangan,” ujar Rita kepada Bloomberg Technoz, Jumat (27/9/2024).

Dalam laporan terbaru yang dilansir September, US DOL menjelaskan warga negara asing (WNA) asal China direkrut untuk bekerja di Indonesia, berdasarkan laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Namun, saat tiba di Indonesia, pekerja justru mendapatkan upah yang lebih rendah dari yang dijanjikan dengan jam kerja yang lebih panjang hingga mendapatkan kekerasan secara verbal dan fisik sebagai hukuman.
Laporan tersebut menyebutkan kerja paksa terjadi pada kawasan industri di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, di mana China memiliki kepemilikan mayoritas atas kawasan ini.
“Pekerja secara teratur mengalami penyitaan paspor oleh pemberi kerja dan mengalami pemotongan upah secara sewenang-wenang, serta kekerasan fisik dan verbal sebagai bentuk hukuman,” papar laporan bertajuk 2024 List of Goods Produced by Child Labor or Forced Labor tersebut.
Indikator lain dari kerja paksa di kawasan industri nikel antara lain pembatasan pergerakan, isolasi, pengawasan terus-menerus, dan kerja lembur paksa; yang semuanya dilaporkan sebagai praktik umum dalam produksi nikel di kawasan industri. (Bloombergtechnoz/ps)