PILARSULTRA.COM, Jakarta — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengatakan beberapa smelter di Indonesia telah melakukan impor bijih nikel dari Filipina dengan kadar 1,4% sebesar 385.000 ton hingga Juli 2024.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan impor nikel dilakukan seiring dengan makin banyaknya jumlah pabrik pemurnian atau smelter nikel di Indonesia.
“Bahan baku [nikel] sudah sampai ada yang impor loh, saking [perusahaan-perusahaan smelter] fight untuk mengambil bahan baku,” ujar Meidy saat ditemui di Jakarta Pusat, dikutip Selasa (30/7/2024).
Sekadar catatan, Kementerian Perindustrian mencatat sampai dengan Maret 2024, Indonesia memiliki total 44 smelter nikel yang beroperasi di bawah binaan Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE). Lokasi terbanyak berada di Maluku Utara dengan kapasitas produksi 6,25 juta ton per tahun.
Jumlah tersebut belum termasuk 19 smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi, serta 7 lainnya yang masih dalam tahap studi kelaikan atau feasibility studies (FS). Dengan demikian, total proyek smelter nikel di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek.
Smelter nikel sekaligus menjadi yang terbanyak dibandingkan dengan pabrik peleburan dan pemurnian untuk mineral logam lainnya di Tanah Air, menurut paparan Kemenperin dalam terkait dengan perkembangan hilirisasi industri yang dilansir akhir kuartal I-2024.
Namun, Meidy menggarisbawahi proses pemurnian atau penghiliran tetap dilakukan di Indonesia walaupun melakukan impor bijih nikel.
Selain itu, Meidy mengatakan impor bijih nikel tidak dilarang oleh peraturan di Indonesia. Namun, Meidy berharap pemerintah bisa menerapkan bea masuk terhadap produk bahan baku tersebut.
“Kalau bisa pemerintah juga charge biaya impor. Maksudnya, pemerintah jangan tebang pilih, kalau mau kenakan bea impor, masukin semuanya,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui laporan Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Mei 2024, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 adalah 1,06 miliar kilogram hingga Mei 2024.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pemerintah sudah menyetujui rancangan kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel untuk memproduksi sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.
Sementara itu, kebutuhan dari nikel saat ini hanya sejumlah 210 juta ton. Dengan demikian, Arifin membantah banyak RKAB nikel yang belum disetujui.
“Enggak, sekarang RKAB sudah 240 juta ton, kebutuhannya cuma 210 juta ton,” ujar Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan di Jakarta Pusat, Senin (22/7/2024).
Sebelumnya Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan sebagaimana dilansir CNBC (5/9/2023), impor bijih nikel disebabkan tersendatnya pasokan bahan baku yang berasal dari Blok Mandiodo imbas berhentinya operasi tambang Blok Mandiodo imbas kasus korupsi. (Bloombergtechnoz/sab)