PILARSULTRA.COM, Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menyelidiki dan mencari alat bukti dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke China.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Alexander Marwata mengaku tidak mengetahui ihwal penyidik meminta Direktur P2 Bea Cukai untuk paparan dugaan ekspor nikel ilegal sebanyak 5,3 juta ton ke Cina.
Alex sapaa Alexander Marwata berkata saat ini dugaan ekspor nikel ilegal masih dalam tahap penyelidikan dan mencari alat bukti.
“Saya nggak tahu. Masih di penyelidikan. Masih mencari alat bukti,” katanya kepada TEMPO, Jumat, 3 Mei 2024.
KPK belum bisa mengungkap bukti-bukti bahkan ada tidaknya tersangka dalam kasus ini kepada publik lantaran masih dalam tahap pemyelidikan.
Sebelumnya, Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria mengatakan informasi ekspor bijih nikel ilegal itu berasal dari Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Diduga aktivitas tersebut berlangsung sejak Januari 2020 sampai Juni 2022.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Bea Cukai Cina, pada 2020 dilaporkan bahwa Cina telah mengimpor bijih nikel dari Indonesia sebanyak 3,4 miliar kilogram dengan nilai sebesar US$ 193 juta (sekitar Rp 2,89 triliun).
Pada 2021, Cina kembali mengimpor 839 juta kilogram bijih nikel dari Indonesia dengan nilai US$ 48 juta (sekitar Rp 719,52 miliar). Pada 2022, Bea Cukai Cina mencatat kembali ekspor sebanyak 1 miliar kilogram bijih nikel dari Indonesia.
Dalam kesempatan berbeda, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan KPK tengah berupaya mengklarifikasi dugaan ekspor ilegal 5,3 juta ton ore nikel ke Cina. Klarifikasi dilakukan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai. “Sekarang kami dengan Bea Cukai sedang proses,” kata Pahala Nainggolan saat dihubungi, Rabu, 5 Juni 2023.
Pahala menjelaskan, klasifikasi dilakukan salah satunya untuk memastikan jenis nikel yang diekspor ke Cina. Menurut dia, setiap barang dikelompokkan ke dalam kode HS. Kode HS, kata dia, perlu dipastikan untuk menentukan apakah kegiatan ekspor tersebut ilegal atau hanya perbedaan pencatatan administrasi biasa antara dua negara.
“Sedang diklarifikasi kategori HS-nya, tentang kemungkinan pihak yang melakukan serta kemungkinan pidana korupsinya,” kata Pahala.
Informasi yang diperoleh Tempo, salah satu perusahaan swasta itu mengekspor nikel ke Cina dengan modus pengiriman ore iron atau ore besi. Sebab, ketentuan pemerintah Indonesia, ore nikel tak bisa langsung diekspor antaran harus diolah di smelter Indonesia.
Namun, dalam transaksi pembayaran dari perusahaan Cina, komoditas ekspor tersebut yang dibayarkan berupa nikel, bukan ore besi. Diduga ada kerugian negara dalam ekspor ini. (tempo/bar)