PILARSULTRA.COM, Global — Amerika Serikat (AS) dan Filipina sedang berdiskusi mengenai cara-cara untuk mencegah China mendominasi industri pemrosesan nikel di kawasan Asia Tenggara, yang merupakan pemasok utama logam yang penting untuk baterai kendaraan listrik itu.
Salah satu langkah yang sedang dipertimbangkan adalah pengaturan trilateral di mana Filipina akan memasok bahan baku nikel, sedangkan AS akan menyediakan pembiayaan, dan negara ketiga seperti Jepang, Korea Selatan atau Australia akan menawarkan teknologi yang diperlukan untuk peleburan dan pemurnian (smelter), menurut sumber yang mengetahui rencana tersebut.
Pembicaraan AS dengan Filipina – produsen nikel tambang terbesar kedua di dunia setelah Indonesia– masih dalam tahap awal, dan elemen-elemen penting dari setiap kesepakatan potensial masih harus diselesaikan, termasuk apakah AS dapat memenuhi pembiayaan, kata sumber yang tidak ingin disebutkan namanya itu.

Pemerintah Filipina tidak segera menanggapi permintaan komentar pada Rabu (1/5/2024), sehubungan dengan hari libur nasional di negara tersebut. Adapun, Juru bicara Gedung Putih juga tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Negosiasi AS-Filipina ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran di Washington atas posisi dominan China dalam pengolahan nikel di Indonesia, yang merupakan pemasok nomor wahid mineral logam penting tersebut.
Permintaan primer untuk nikel, yang biasanya digunakan untuk membuat baja nirkarat, diperkirakan meningkat sekitar sepertiga menjadi 4,4 juta ton per tahun pada 2030, menurut BloombergNEF.
Para pejabat AS mengatakan nikel sangat penting bagi dorongan Presiden Joe Biden untuk melakukan transisi energi ramah lingkungan, dan potensi kemitraan ini merupakan salah satu langkah yang dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada mineral penting yang diproduksi China.
Baterai litium-ion akan memenuhi sekitar 28% permintaan nikel pada akhir dekade ini, menurut perkiraan BNEF.

Pembicaraan ini juga dilakukan ketika pasar nikel global sedang dilanda kekacauan setelah membanjirnya pasokan baru dari Indonesia – yang merupakan hasil dari investasi besar-besaran China dan terobosan teknologi besar-besaran.
Tambang-tambang di seluruh dunia beresiko ditutup, sementara tambang-tambang lain meminta dana talangan negara atau bangkrut.
Skala keruntuhan tambang ini telah membuat sejumlah pihak di industri ini mempertanyakan apakah masih ada masa depan bagi sebagian besar tambang di luar Indonesia, sementara dominasi China atas sektor pengolahan di negara ini juga telah menimbulkan kekhawatiran mengenai keandalan pasokan.
Filipina berencana untuk memperluas penambangan nikel meskipun terjadi surplus global, dan kurang dari 3% dari 9 juta hektare (22,2 juta hektare) lahan yang diidentifikasi oleh pemerintah memiliki cadangan mineral yang tinggi saat ini sedang ditambang.
Para penambang di Filipina didorong untuk berinvestasi pada fasilitas pemrosesan yang dapat menghasilkan produk bernilai lebih tinggi, alih-alih hanya mengirimkan bijih logam mentah.
Saat ini hanya terdapat dua pabrik pengolahan nikel, keduanya dioperasikan oleh Nickel Asia Corp. yang sebagian dimiliki oleh Sumitomo Metal Mining Co Jepang.
Negara ini telah mempertimbangkan untuk mengikuti langkah Indonesia dengan mengenakan pajak atas ekspor bijih nikelnya untuk menarik investasi di pabrik pengolahan. (Bloombergtechnoz.com/sab)