Oleh : Sabaruddin Hasan – Direktur Media Pilar Sultra
PILARSULTRA.COM — Bicara tentang Islam dan politik di Indonesia, ada baiknya untuk sejenak menengok kembali pandangan Ziilfirdaus Adnan yang disampaikan dalam konferensi tetang “State and Civil Society” yang diselengggarakan di Monash University, Australia, pada tahun 1988 silam. Zifirdaus Adnan dari Griffith University yang pernah menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Point Cook Military Academy di Melbourne, Australia, menyajikan makalah yang berjudul “Islamic Religion : Yes, Islamic (Policital) Ideology: No! : Islam and The State in Indonesia”.

Melalui makalah tersebut Adnan mengusulkan alternatif bagi pendekatan dikotomis santri abangan yang selama ini digunakan oleh para pengamat dalam kajian mereka tentang Islam di Indonesia. Dalam hubungan antara Islam dan Negara, Adnan membedakan orang Indonesia dalam dua kelompok besar.
Pertama, mereka yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam dan negara – baik dalam bentuk Negara Islam, Islam sebagai agama Negara, atau Negara yang memberlakukan ajaran Islam.
Kedua, mereka yang menentang kaitan antara Islam dan Negara dalam bentuk apapun. Termasuk dalam kategori pertama adalah berbagai kelompok dari yang paling moderat hingga yang paling radikal, yang berjuang untuk mewujudkan kaitan kaitan formal antara Islam dan Negara. Mereka terdiri dari orang-orang Islam yang saleh maupun nominal, ditambah kalangan Kristen dan Katolik serta kalangan non Islam lainnya.
Menurut Adnan, persaigan antara kedua kelompok inilah yang mewarnai percaturan politik antara Islam dan Negara di Indonesia selama ini.
Hingga dicanangkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, kelompok yang pertama memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara disatu pihak, sedangkan kelompok kedua yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar Negara pada pihak lainnya. Era orde baru diwarnai pula oleh kompetisi antara dua kelompok ini, yang berujung pada kekalahan total kelompok pertama.
Kritik dan analisis yang diajukan Adnan memang benar, yakni bahwa penggunaan pendekatan santri-abangan untuk memahami fenomena Islam di Indonesia cenderung pada penyederhanaan masalah yang berlebihan. Namun, alternatnatif yang Adnan ajukan ternyata membawa kita juga pada penyederhanaan masalah yang dalam bentuk lain yang juga berlebihan.
Dikotomisasi antara yang pro dan anti tidak dapat memberi penjelasan yang memuaskan, misalnya mengenai perbedaan antara golongan Islam modernis dan tradisionil yang hampir selalu memberi respon berbeda terhadap kebijakan-kebijakan Negara. Selain itu, sejauh yang menyangkut pancasila, tidak lama setelah meletusnya G30-S/PKI pada tahun 1965, seluruh organisasi Islam bersama hampir semua partai non-komunis bergabung dalam front Pancasila – sebuah front persatuan untuk mengganyang PKI beserta segenap organisasi pendukungnya.